Rabu, 01 Februari 2012

Senyum Terakhir

       Kupandangi empat foto ukuran 20 R yang tertempel di dinding kamarku. Ku pandangi snyum itu, senyum terakhir yang ada padanya. Kini semuanya telah sirna.
      "Duchh... yang jadi mahasiswa terbaik! selamat ya kak !" aku memberi ucapan selamat pada kakak sambil memeluknya."Adek ntar harusnya juga gitu!" sela mamaku. Aku tak mengomentari, aku hanya manyun sambil bergelanyut manja pada mama.
"Makasih ya Dek, Ma, Pa ! Mungkin tanpa kalian, Sandra nggak mungkin dapet prestasi ini. Thank for all!"
      "By the way, rencana syukuran kapan nih?terus, mau acara kemana?" tanyaku iseng.
"Kita sudah lama nggak ke Vila. Gimana kalo kita ke vila aja?" papa memberi tawaran yang langsung kami sambut dengan teriakan setuju. Kami pun bergegas meninggalkan gedung tempat kakak di wisuda untuk beranjak pulang.
      Semua kurasakan bagai mimpi. Meskipun bukan yang terbaik disekolah, aku tetap bersyukur bahwa aku masih berkesempatan menjadi lulusan dengan nilai tertinggi ketiga di sekolah. Aku juga di terima di jurusan yang aku inginkan.
      Kakakku, Sandra, yang juga merupakan saudaraku satu-satunya, di nobatkan sebagai mahasiswa terbaik pada saat wisudanya. Tawaran pekerjaan pun datang, tanpa kakak harus mencari. Papa dan Mama usahanya lancar. Mereka telah membuka cabang untuk toko yang mereka rintis bersama di bberapa tempat. Aku bersyukur sekali. "Pa, rencananya hari ini kita ngapain?" tanya Kak Sandra sambil mengoleskan selai pada roti tawarnya. "Hari ini kalian mau mancing atau ke air terjun?" Papa membebaskan kami untuk memilih.
     Suara mama yang memecah kesunyian, "Mancing aja, Pa! sekalian kita nanti makan siang disana. Mama juga pengen liburan !"
"iih maunya !" seruku dan kakak bersamaan. Paoa hanya menanggapi dengan senyuman.
     Akhirnya usulan mama yang di laksanakan. Sebab memang tak ada usulan yang lain dari kami. Tempat memancing favorite kami berada agak jauh dari vila. Bukan di danau tapi di kolam-kolam. Di sisinya, terdapat gubuk kecil untuk tempat bersantai.
     Setelah puas memancing dan makan siang, kakak mengusulkan untuk menghabiskan sisa hari di air terjun. Kami pun menyetujuinya. "Berapa tahun sih Kak, kita nggak kesini ? beda banget dari yang dulu !" Ku toleh Kakaku yang juga terpesona oleh keindahan alam yang ada. Tidak menjawab. Kakak malah balik bertanya padaku "Nia bawa kamera ?"
Pertanyaan yang tidak perlu sekali aku jawab. Kemanapun kami pergi, Mama yang memiliki hobbi Fotografi tentu tak pernah absen dari kameranya. Hanya saja, Kakak tidak begitu perhatian ketika tadi di tempat memancing hingga tiba disini, Mama tak pernah berhenti untuk memfoto segala objek.
     Setiap ekspresi kami yang tanpa di buat-buat akan terabadikan oleh kamera Mama. Air mataku tak henti mengalir membasahi pipi. Senyum itu begitu tulus, begitu lepas, seakan tak ada beban. Tiba-tiba kurasakan belaian tangan yang telah ku hafal sekali..."Papa udah nunggu di mobil, sayang" kata Mama lembut.
     Sekali lagi ku tatap potret yang tergantung di dinding kamarku itu. Saat Kakak wisuda, kami berdua kegirangan karena berhasil mendapat ikan, bermain di air terjun, dan ketika kami menikmati percik-percik air terjun.Aku pun segera beranjak dan menyusul Mama yang telah berjalan menuju mobil.  Ku hapus air mataku, ku coba menghentikannya.
     Seperti biasa, Mama selalu menemaniku duduk di belakang bangku kemudi Papa. mama tidak pernah melepaskan pelukannya padaku. Di tengah perjalanan, sekali lagi ku layangkan pertanyaan yang hingga kini belum juga terjawab, "Apa sih yang sebenarnya terjadi pada Kakak pagi itu?" semua diam.
"Kenapa waktu itu aku nggak mau diajak jalan-jalan pagi sama Kakak ya?" sesalku.
     Setelah seharian beraktivitas diluar rumah, keesokan paginya aku kelelahan. Tapi entah kenapa Kakakku semangat sekali untuk joging. Dia mengajaku, tapi aku tak mau ikut. Akhirnya dia pergi sendirian.
Hari telah siang, tapi Kakak belum juga pulang. Kami mengira dia mampir ke vila temannya yang memang banyak berada di dekat vila kami. Sealng beberapa lama, ternyata Kakak pulang, tapi Kakak tidak sendiri dia diantar oleh orang-orang yang menemaninya. Keadaanya begitu buruk sekali. Sayangnya, tak ada seorangpun orang yang tau apa yang telah terjadi pada Kakak.
     "Nia, ayo turun sudah sampai," bisik Mama perlahan. Ku hela nafasku dalam-dalam. Ku kuatkan jiwaku. Sekali lagi untuk entah yang ksekian kalinya ku baca papan itu, Rumah Sakit Jiwa.....
Ya, Kakakku yang brilliand mengalami ketakutan yang luar biasa ((*))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar